[Note Taken] – Cinta Pertama, Kedua, dan Ketiga

cinta pertama kedua dan ketiga

Gina S Noer, karyamu sungguh selalu membukakan mataku, menyadarkan hatiku, untuk menulis karena… it is simply just touching my heart.

Se-wikenan lalu saya mellow; bukan karena situasi in real life (walau memang there’s some part of it) tapi lebih karena efek setelah nonton film.

Cinta pertama kedua dan ketiga. Niat awal nonton ya buat entertainment aja gitu… selesai nonton, bahkan di tengah-tengah nontonnya (I need to take some breaks in the middle), hati udah meleleh.

This just hits too close to home.

Saya nonton via Netflix – silakan menonton jika belum, karena saya akan cerita beberapa hal yang mungkin akan secara tidak sengaja revealing the plot. I’ve been warning you. Tulisan ini bukan review ya, karena saya hanya akan cerita alasan kenapa menurut saya film ini layak tonton dan relevansinya dengan kehidupan pribadi saya.

Mengasuh orang yang lebih tua (entah kakek/nenek, maupun orang tua kandung yg sudah lansia) itu BERAT.

Antar mengantar tiap bulannya kontrol ke dokter, mengingatkan dan menyiapkan minum obat, tidak hanya fisik tapi juga psycologically and emotionally drain. Saya dan keluarga mungkin hanya merasakan kurang dari 10 tahun mengasuh mbah-mbah. Tapi in those years, I spent my teenage drama and also get some traumas. Waktu dikabarin akan pindah ke rumah mbah, all I thought is we’ll be happy like we used to do in mudik time. Indeed it was – and it always have been (in the good time), but no one told me too that there will be hard times when your loved one’s health getting weaker, and they would start to forget many things, or that having banyak saudara is actually not helping solving the problems LOL.

It got ‘that’ bad when the combo between all those problems (yours as a teenage, your parents as … parents, the aunties and uncles as the don’t-know-what-exactly-happened-but-can-only-guess, and your grannies with their own health). Saya dulu pernah satu masa kabur dari rumah (sejenak, karena kaburnya ke tetangga juga dan akhirnya balik juga), nangis-nangis dan bilang ‘aku gak kuat, I wanna go outta home’ – yang akhirnya dikabulkan sama Allah SWT saat akhirnya kuliah dan merantau. Angkat topi dari saya untuk kalian yang bisa tahan dan bahkan mungkin dari kecil tinggal sama elders. I believe ‘that experiences’ brought you to be a very strong person.

keluarga

Di film ini, Cinta123 (I know what an acronym rite, but the title itself long!), masing-masing tokoh utama dikisahkan merawat orang tuanya masing-masing, dengan segala masalah yang ada. Seperti yang saya bilang, ya masalah tentang dirinya sendiri, maupun tentang keluarganya. Tambah rumit di sisi Raja (Angga Yunanda) karena dia anak bontot yang akhirnya kebagian ngurus eyangnya dan ayahnya – sementara dia sendiri belum bekerja, jangankan mikir masa depannya sendiri. Faktor psikis yang lelah tergambar jelas di karakter Asia (Putri Marino), dimana dia jelas diceritakan pernah ke psikolog untuk membantu masalahnya – walau akhirnya nggak diterusin karena kendala finansial.

Tipe keluarga yang jarang mengungkapkan perasaan karena ‘nggak mau bikin pikiran/beban’. Yang malah pada akhirnya, pecah saat ada krisis.

Kenapa? Karena jarang komunikasikan apa yang dirasa. Yang tua merasa pengen lakukan apapun sendiri dan nggak butuh yang muda. Di sisi lain, yang muda nggak sempet mikirin diri sendiri karena merasa punya tanggungjawab lebih besar dan harus selalu diutamakan: yang tua. Gitu aja sampai akhirnya ada masalah dan saling salah-salahan. EHE.

Living in my 25-ish, saya kagum lihat hubungan keluarga di rekan kerja saya. They are living apart, but they do always communicate in good way. Excellent way malah. Mereka bisa saling curhat, cerita apapun be it small or big one, everyday, saying ‘I love you’ to each other, when they meet, they do clingy and more expressive in their emotion. Asli, saya pernah mikir ada pada titik tertentu my relationship with my parents is perfect – turns out it’s not 😀 Saat saya merantau itu, saya mulai selektif tentang apa saja yang saya ceritakan ke ortu dan apa yang tidak. Dengan alasan yang sama: I don’t want to make them worry and thinking of me while we’re apart. Ternyata ide saya itu keterusan sampai sekarang, dan bahkan kebawa ke hubungan saya selanjutnya – pernikahan.

Yang ini jangan ditiru, karena menikah tidak hanya secara harfiah dua insan menjadi satu, tapi juga dalam kehidupannya, dua kepala, dua keluarga, dan dua masalah hidup dijadikan satu. Kalian tidak berjuang sendiri, sama klisenya dengan ‘communication is the key’, ya nyatanya memang sebaiknya dikomunikasikan bersama apapun itu – apalagi ketika menyangkut keputusan besar. Well it is now sounds like I’m talking to my inner self.

Pas lagi konflik puncak, terngiang banget tuh kata-kata Raja yang nggak mau cerita ke bapaknya karena nggak mau bapaknya mikirin dia. Dia pun akhirnya memutuskan beberapa hal sendiri, yang malah akhirnya bikin blunder juga. Sama kaya Asia yang punya beban hutang banyak, tapi nggak mau cerita ke mamanya. Alasan yang sekilas sweet karena berarti sayang sama keluarganya, tapi menyusahkan di kemudian hari.

konflik

Perencanaan hari tua itu penting – Banget.

Mungkin start with good financial planning for masa tua, ya. Karena biasanya sih muaranya pada akhirnya kondisi finansial juga. Tapi, hal-hal seperti mau tinggal sama siapa saat sudah pensiun? Mau pensiun kapan dan gimana cara mengisi waktu pensiun? Tentang keperluan sehari-harinya setelah pensiun, bagaimana urus keperluannya? Persiapan kondisi kesehatan untuk pensiun, apakah sudah dijaga kesehatannya? Dan lainnya.

Pembahasan ini nantinya bisa melebar ke topik bahwa anak bukan sebuah investasi yang bisa dipetik di masa depannya. Bahwa justru orang tua membantu anak dalam menyiapkan masa depannya, sampai di waktu dia akhirnya membentuk sendiri kehidupannya – and that’s it. I’ll stick to that. Bahwa apakah misalnya anak memberi sejumlah rejeki ke orang tuanya, apakah nantinya anak berbudi baik, sukses, dan lainnya, dianggap sebagai anugerah saja – bukan diharapkan. Again back to the first point prior, setelah sudah ditentukan, tentu saling mengomunikasikan antar keluarga, ya!

bersama ibu

Bapaknya Raja sebenernya sudah prepare soal finansial di masa tuanya, tapi karena satu dan lain hal, akhirnya jebol juga. Again, karena nggak pengen nyusahin anak-anaknya, ada beberapa hal yang akhirnya dia putuskan – dan justru malah disesali oleh anak-anaknya. Di sisi lain, ibunya Asia nggak kepikiran kalau harus menjebol tabungannya karena alasan kesehatan – note untuk kita: beli asuransi atau… at least belajar cara urus BPJS 😉

Secara tidak sadar, you’ll attract and meet someone who is understand what you’re going through. Or even in a similiar situation – just to comfort each other. Whether it leads to love or not, but you do need companion.

Ini mungkin diluar apa yang saya paham omongin – tapi secara logika ketika kita ketemu sama yang ‘sefrekuensi’, yang paham situasi yang sedang kita hadapi, yang juga mungkin pernah punya atau sedang di posisi serupa, kita lebih cepat nyaman.

Dan ini yang terjadi sama Raja dan Asia, walau sempat disalahartikan rasa nyaman itu, sih.

Do talk about financial with your closest ones.

Sudah berapa poin ternyata intinya di komunikasi lagi, komunikasi terus. Ketika sudah sama-sama dewasa (or even kadang saya dengar ada parents yang bisa telling to their kids about their financial status) rasanya wajar untuk sama-sama paham tentang status finansial keluarga. Apakah sedang baik-baik saja, atau memang masih ada hutang yang harus dilunasi. Ini jadi poin yang masuk di obrolan sebelum menikah juga, lho!

Di film ini, Asia diceritakan sangat tertutup mengenai kondisi finansialnya. Sang ibu taunya dia selalu ada uang, sehingga santai aja kalau ada kebutuhan – padahal nggak. Sedangkan di keluarga Raja, ada salah satu kakaknya yang ternyata punya pinjaman ke bapaknya. Yang mana itu adalah bom waktu yang meledak ketika kondisi lagi ruwet.

Buat beberapa dari kita yang memang under previlege, even if money is not everything, apparently money does solves everything (when you are in the mid and lower situation). So… sebaiknya cerita dan terbuka dengan closest ones, ya.

Anyway, sama seperti film Gina S. Noer yang pernah saya tonton, film ini diakhiri dengan berjuta pertanyaan penonton. Akhirnya gimana sih? Terus jadinya nasib Raja gimana? Asia? Dan rencana dan mimpi mereka? Tapi ya memang penonton dibiarkan punya perspektif sendiri mungkin… sehingga nggak harus dikotak-kotakkan ending yang kaku.

Kalau kalian sudah nonton, yuk diskusi apa masih ada hal yang perlu di take notes setelah nonton ini?

Cheers,

-annpoet

Tinggalkan Balasan