May 2013 – the time when I finally graduated. It took me 6 months to finally get my first job, as a marketing in furniture business.
Never had in my thought I’m gonna be a marketer. I don’t even applied to be it – I just want to work, make money, and live. That’s it.
Saya melalui tes psikologi awal dengan biasa saja, maklum, entah sudah belasan kali saya mengerjakan soal-soal itu, dalam tes pekerjaan sebelumnya. Hanya saja, kali ini saya ditelepon beberapa jam setelah mengerjakan tes – saya lolos untuk interview user.
Keesokan harinya, saya datang, dan bertemu sang user. Saya diantar ke ruang kerja beliau, yang ternyata seorang Komisaris perusahaan tempat saya melamar. Ruang kerja, yang lebih pantas disebut mini villa – terdiri dari 2 lantai, lantai atas ada kamar tidur, lantai bawah ada ruang kerja, ruang TV, dan kolam renang outdoor. Ya, secantik villa yang biasanya ada di Bali – lengkap dengan pohon kamboja wangi.
Beliau sedang menonton siaran TV luar negeri waktu saya datang, menawarkan minuman yang ada; kopi, teh, atau air putih. Saya kan bukan tamu penting, batinku. Tentu saja tahu diri saya memilih air mineral gelasan yang ada. Aura beliau sangat hangat, pintar, dan kebapak-an. Berjalanlah interview yang lebih seperti obrolan ringan, sampai sebuah pertanyaan muncul:
Kamu jadi Marketing saja, mau? Saya lihat potensi kamu ada di komunikasi; internal dan eksternal.
Saya ragu, karena pengalaman pun saya tak punya. Tapi beliau selalu encourage, saya bisa belajar dulu katanya. Beliau cerita, bahwa beliau dulunya GM sebuah bank swasta, dipercaya pegang area Jawa-Bali, sebelum akhirnya pensiun dini dan mendirikan perusahaan ini. Saya juga cerita mengenai papa saya yang memutuskan pensiun dini dan memulai bisnis, beliau appreciate sekali.
Sekitar satu jam saya interview, dan diakhiri dengan jabat tangan tanda saya diterima. Seperti tidak percaya rasanya, pekerjaan pertama saya, marketing sebuah perusahaan furnitur.
Hari demi hari, bulan, tahun, setiap perjumpaan dengan beliau merupakan pelajaran bagi saya. Tidak pernah saya dengar beliau membentak saya, walau dengan tim lain beliau bisa marah. Selalu penuh hormat, bahkan banyak mengajarkan tentang pekerjaan, tentang cara menulis email yang baik, tentang bagaimana menghandle langsung customer.
Setelah 3 tahun, tibalah saya datang ke villa kecil itu, tempat dimana saya wawancara pertama kali. Saat itu, saya bawa satu kotak tisu, saya tahu saya akan butuh. Di hari Sabtu itu, saya pamit ke beliau, saya resign. Beliau tidak menahan, hanya bertanya alasan saya, bertanya dimana saya kerja selanjutnya. Jujur saya ungkapkan segala uneg-uneg, dan saya ceritakan rencana saya. Beliau maklum, kami saling minta maaf untuk hal-hal yang sudah pernah dilakukan.
Desember 2017, beliau datang ke acara pernikahan saya. Dengan gaya casualnya, beliau menyapa saya dan suami, dan kami berfoto sebentar. Saya berterima kasih beliau mau meluangkan waktunya, disela kesibukannya.
2020 lalu, saya dengar beliau sudah tidak lagi menjadi komisaris perusahaan. Kantor itu kini berubah haluan, tinggal kenangan.
17 Oktober 2022, saya dikabarkan, beliau telah berpulang.
Selepas saya resign, saya paham beliau bukan pribadi yang keep in contact dengan siapa saja. Beliau eksklusif, bahkan akun LinkedIn dan Instagramnya saja terbengkalai, beliau menikmati hidup dengan keluarganya.
Oktober 2022 ini, hampir 10 tahun saya berkecimpung di dunia furnitur, sebagai marketing. Rasanya tidak mungkin saya menjadi seperti saat ini, ada di dunia karir ini, jika bukan karena beliau yang menyarankan saya menjadi marketing di perusahaannya. If it wasn’t him, I don’t know where am I now. In every email I wrote, with every customer I handle, I remember what he taught me.
Rest in Peace, my mentor. I’ll stay hungry for the knowledge. Thank you for all.
Bapak selalu punya gaya sendiri…semoga apa yg bapak ajarkan ke kita..ilmu2 yg kita dapat..bisa menjadi amal jariyah beliau ya nis…