Have you ever think of your life right now?
What makes you like this?
Do you pick the right choice for your life?
What will happen to you in the next 5 years?
Have all your dreams come true?
Do you still hanging on your dreams?
What sacrifice that have you done for your life?
And all deepest-feeling (heartbreaking) questions…
Gue pernah, dan sedang dalam masa kritis kritisnya ngobrolin tentang itu; sama diri gue sendiri.
Gue dengan ke-melankolis-an yang gue punya, cuma bisa bercucuran air mata di sujud gue.
Gak perlu gue ceritain detail; karena nantinya postingan ini hanya akan jadi sampah mata kalian yang membaca.
Seringnya, habis gue berdiskusi sama hati tentang jawaban jawaban dari pertanyaan tersebut, gue lantas membandingkan hidup gue dengan orang lain.
Orang lain yang menurut gue punya ‘better life’, atau ‘very lucky one’.
Yang gue keluhkan akhirnya adalah, “kenapa mereka hidupnya lebih enak?”
“Kenapa mereka gak pernah punya masalah sebesar yang gue punya?”
“Kenapa gaji mereka lebih tinggi?”
“Enak ya mereka bisa pakai mobil kemana mana”
“Kapan ya gue bisa jalan jalan ke luar negeri?”
“Gimana rasanya bisa muat pake baju ukuran all size ala ala butik?”
Basi!
Jadinya membandingkan hidup gue dengan hidup orang lain.
Jadinya mengutuk kehidupan sendiri.
Menyalahkan pihak pihak yang padahal gak bersalah.
Tidak mensyukuri berkat Allah SWT.
Kufur nikmat.
Sedih.
Kenapa gue bilang basi?
Pernah gue kasih support ke seorang sahabat yang paling berharga kehidupannya buat gue; gue sampaikan beberapa supporting sentences buat bikin dia semangat ketika dia kehilangan arah. (Baca: kehilangan ayahnya)
“Elo kudu bersyukur, disini sekarang elo masih bisa bernafas, gratis lagi. Disaat beberapa orang mengalami suatu keadaan yang mengakibatkan mereka susah bernafas, ataupun membayar setiap liter oksigen yang mereka hirup.”
“Elo kudu bersyukur untuk semua organ dalam badan elo, yang masih berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya.”
“Elo mungkin kehilangan ayah, tapi elo masih ada ibu yang sangat hebat. Gak banyak yang kaya gitu.”
“Dengan kehilangan ini, elo bisa kasitau ke temen temen, betapa mereka harus menghargai setiap detik kerempongan orang tua. Dan elo akan menjadi pribadi yang sangat bijak nantinya.”
“Elo gak sendiri, masih banyak temen temen yang bisa terus support elo. Apapun bentuknya.”
Gue pernah kasih support ke orang orang, malah sering adanya gue kasih support begitu; tapi munafik sekali kalau gue malah meratapi kehidupan gue.
Ngomong ke orang gampang, ngelakuin sendiri malah gak becus.
Sampai akhirnya gue sadar, setiap kali gue down meratapi kehidupan gue, sesungguhnya gue kudu ngeliat lagi;
– apa yang masih bisa gue nikmati gratis dari Allah SWT
– kesehatan gue
– gue masih bisa sekolah dan kuliah
– gue masih bisa pergi pergi
– gue dapet kerjaan tetap
– dan lain lain rasa syukur gue.
Cerita masa kecil gue mengingatkan gue untuk selalu bersyukur.
Karena manusia gak pernah puas.
Gue dengan ke-melankolis-an yang gue punya, cuma bisa bercucuran air mata di sujud gue.
Gak perlu gue ceritain detail; karena nantinya postingan ini hanya akan jadi sampah mata kalian yang membaca.
Seringnya, habis gue berdiskusi sama hati tentang jawaban jawaban dari pertanyaan tersebut, gue lantas membandingkan hidup gue dengan orang lain.
Orang lain yang menurut gue punya ‘better life’, atau ‘very lucky one’.
Yang gue keluhkan akhirnya adalah, “kenapa mereka hidupnya lebih enak?”
“Kenapa mereka gak pernah punya masalah sebesar yang gue punya?”
“Kenapa gaji mereka lebih tinggi?”
“Enak ya mereka bisa pakai mobil kemana mana”
“Kapan ya gue bisa jalan jalan ke luar negeri?”
“Gimana rasanya bisa muat pake baju ukuran all size ala ala butik?”
Basi!
Jadinya membandingkan hidup gue dengan hidup orang lain.
Jadinya mengutuk kehidupan sendiri.
Menyalahkan pihak pihak yang padahal gak bersalah.
Tidak mensyukuri berkat Allah SWT.
Kufur nikmat.
Sedih.
Kenapa gue bilang basi?
Pernah gue kasih support ke seorang sahabat yang paling berharga kehidupannya buat gue; gue sampaikan beberapa supporting sentences buat bikin dia semangat ketika dia kehilangan arah. (Baca: kehilangan ayahnya)
“Elo kudu bersyukur, disini sekarang elo masih bisa bernafas, gratis lagi. Disaat beberapa orang mengalami suatu keadaan yang mengakibatkan mereka susah bernafas, ataupun membayar setiap liter oksigen yang mereka hirup.”
“Elo kudu bersyukur untuk semua organ dalam badan elo, yang masih berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya.”
“Elo mungkin kehilangan ayah, tapi elo masih ada ibu yang sangat hebat. Gak banyak yang kaya gitu.”
“Dengan kehilangan ini, elo bisa kasitau ke temen temen, betapa mereka harus menghargai setiap detik kerempongan orang tua. Dan elo akan menjadi pribadi yang sangat bijak nantinya.”
“Elo gak sendiri, masih banyak temen temen yang bisa terus support elo. Apapun bentuknya.”
Gue pernah kasih support ke orang orang, malah sering adanya gue kasih support begitu; tapi munafik sekali kalau gue malah meratapi kehidupan gue.
Ngomong ke orang gampang, ngelakuin sendiri malah gak becus.
Sampai akhirnya gue sadar, setiap kali gue down meratapi kehidupan gue, sesungguhnya gue kudu ngeliat lagi;
– apa yang masih bisa gue nikmati gratis dari Allah SWT
– kesehatan gue
– gue masih bisa sekolah dan kuliah
– gue masih bisa pergi pergi
– gue dapet kerjaan tetap
– dan lain lain rasa syukur gue.
Cerita masa kecil gue mengingatkan gue untuk selalu bersyukur.
Karena manusia gak pernah puas.
Siang hari Sabtu itu keadaan jalan di daerah Bekasi sangat macet dan panas. Gue kecil dan bokap nyokap ada di dalam mobil SUV kami yang berhenti di jalan tersebut karena macet. Kami tidak bisa mendengar bunyi klakson karena tertutup oleh alunan musik jazz dari pemutar CD yang ada di dalam mobil. Teriknya siang itu juga tidak kami rasakan karena sejuknya AC yang ada di dalam mobil. Seharusnya, kami sudah sampai di Mall terbesar di Jakarta itu, sedang menyantap masakan Jepang favorit di restoran langganan kami, tapi macet ini menahan kami di sini.
“Enak yah yang pake motor itu, gak kena macet.”, ucap gue polos sambil nunjuk ke arah tukang ojek yang bermanuver hebat melintasi sela sela mobil yang macet.
“Siapa bilang enak? Kan mereka kepanasan. Kita disini enak kok, sejuk.”, ujar nyokap gue.
“Lah mereka gak macet, cepet sampai pula.”, sahut gue gak mau kalah.
“Itu namanya wang sinawang.”, si bokap ikutan komen.
“Hah? Apaan tuh?”, gue mulai bingung.
“Kata kamu, mereka yang pakai motor itu enak. Karena gak macet dan cepat sampai. Padahal, sebenarnya mereka juga bilang dalam hati, enakan kita yang pakai mobil. Gak kepanasan, gak kehujanan. Itu namanya wang sinawang. Semua itu ada enaknya, ada nggak enaknya.”, bokap njelasin panjang lebar ke konsep tersebut.
“Enak yah yang pake motor itu, gak kena macet.”, ucap gue polos sambil nunjuk ke arah tukang ojek yang bermanuver hebat melintasi sela sela mobil yang macet.
“Siapa bilang enak? Kan mereka kepanasan. Kita disini enak kok, sejuk.”, ujar nyokap gue.
“Lah mereka gak macet, cepet sampai pula.”, sahut gue gak mau kalah.
“Itu namanya wang sinawang.”, si bokap ikutan komen.
“Hah? Apaan tuh?”, gue mulai bingung.
“Kata kamu, mereka yang pakai motor itu enak. Karena gak macet dan cepat sampai. Padahal, sebenarnya mereka juga bilang dalam hati, enakan kita yang pakai mobil. Gak kepanasan, gak kehujanan. Itu namanya wang sinawang. Semua itu ada enaknya, ada nggak enaknya.”, bokap njelasin panjang lebar ke konsep tersebut.
Begitulah awal pertama kali gue denger ‘wang sinawang’.
Dan konsep itu juga yang masih gue pakai, ketika gue sekarang sering down meratapi hidup.
Gue boleh ngeluh dan ngeliat other people’s life better than mine.
Tapi siapa tau orang lain malah ngeliat mine’s better.
Kata mantan gue sih:
“Belum tentu apa yang elo pikir baik, orang lain pikir baik. Dan itu berlaku vice versa.”
Dan konsep itu juga yang masih gue pakai, ketika gue sekarang sering down meratapi hidup.
Gue boleh ngeluh dan ngeliat other people’s life better than mine.
Tapi siapa tau orang lain malah ngeliat mine’s better.
Kata mantan gue sih:
“Belum tentu apa yang elo pikir baik, orang lain pikir baik. Dan itu berlaku vice versa.”
So yeah, that’s what keep me smiling in the middle of a storm.